Bangsa Arab pada awalnya merupakan bangsa yang
memiliki keahlian dalam menggunakan dua bahasa sekaligus, yakni bahasa fasih
dan bahasa dialek. Saat sedang bersantai dengan keluarga misalnya, mereka
menggunakan bahasa dialek. Namun apabila pada saat yang lain mereka harus
menggunakan bahasa fasih, mereka pun sanggup melakukannya secara sempurna.
Al-Qur’an dan sabda Nabi juga disampaikan dalam bahasa Arab yang fasih.
Setelah Islam berhasil melakukan futuh ke
berbagai negeri ajam (non Arab), bangsa Arab mau tidak mau harus bergumul
dengan bangsa-bangsa yang tidak berbahasa Arab tersebut. Akibat perkumulan yang
berlangsung secara intens dan dalam waktu lama, bahasa Arab mulai terpengaruh
oleh bahasa-bahasa lain. Orang-orang non Arab berusaha untuk berbicara dalam
bahasa Arab namun mereka melakukan banyak kekeliruan. Orang Arab sendiri
sedemikian toleran atas berbagai kekeliruan berbahasa Arab, baik yang dilakukan
oleh orang non Arab maupun oleh orang Arab yang baru belajar berbahasa. Saat
itu, kesalahan bukan hanya dilakukan oleh orang awam namun juga oleh
orang-orang terpelajar dan para sastrawan. Dikisahkan, bahkan Al-Hajjaj,
seorang yang sangat mahir berbahasa, juga sempat melakukan kesalahan. Banyaknya
kesalahan, terutama dalam mengucapkan ayat-ayat Al-Qur’an, telah mendorong
sebagian orang yang mahir berbahasa untuk menyusun kaidah-kaidah bahasa, yang
pada kemudian hari dikenal sebagi ilmu nahwu.
Bahasa Arab adalah
bahasa yang terjaya dari bahasa-bahasa lainnya, terbanyak
pramasastranya, hingga ia dapat melayani
kemajuan-kemajuan ilmu pengetahuan disegala bidang. Untuk mengetahui seluk
beluk bahasa Arab yang masyhur itu lebih jauh dan untuk menilai keindahan kalimat
baik prosa maupun puisi termasuk didalamnya tentang kalam khabari dan insyai
maka di kenal sebagai ilmu balaghah.
٭ Perkembangan Ilmu Nahwu dan
sharaf dari masa ke masa
1. Ilmu Nahwu[1]
Perkembangan
ilmu nahwu dapat diruntut menjadi tiga periode:
A. Periode Perintisan dan Penumbuhan (Periode
Bashrah)
Perkembangan pada
periode ini berpusat di Bashrah, dimulai sejak zaman Abul Aswad sampai
munculnya Al-Khalil bin Ahmad, yakni sampai akhir abad kesatu Hijriyah. Periode
ini masih bisa dibedakan atas dua sub periode, yaitu masa kepeloporan dan masa
pengembangan. Masa kepeloporan tidak sampai memasuki masa Daulah Abbasiyah.
Ciri-cirinya ialah belum munculnya metode qiyas (analogi), belum munculnya
perbedaan pendapat, dan masih minimnya usaha kodifikasi. Adapun ciri-ciri masa
pengembangan ialah makin banyaknya pakar, pembahasan tema-temanya semakin luas,
mulai munculnya perbedaan pendapat, mulai dipakainya argumen dalam menjelaskan
kaidah dan hukum bahasa, dan mulai dipakainya metode analogi.
B. Periode Ekstensifikasi (Periode Bashrah-Kufah)
Periode ini
merupakan masa ketiga bagi Bashrah dan masa pertama bagi Kufah. Hal ini tidak
terlalu mengherankan, sebab kota Bashrah memang lebih dulu dibangun daripada
kota Kufah. Pada masa ini, Bashrah telah mendapatkan rivalnya. Terjadi
perdebatan yang ramai antara Bashrah dan Kufah yang senantiasa berlanjut sampai
menghasilkan apa yang disebut sebagai Aliran Bashrah dengan panglima besarnya
Imam Sibawaih dan Aliran Kufah dengan panglima besarnya Imam Al-Kisa’i. Pada
masa ini, ilmu nahwu menjadi sedemikian luas sampai membahas tema-tema yang
saat ini kita kenal sebagai ilmu sharf.
C. Periode Penyempurnaan dan Tarjih (Periode
Baghdad)
Di akhir periode
ekstensifikasi, Imam Al-Ru’asi (dari Kufah) telah meletakkan dasar-dasar ilmu
sharf. Selanjutnya pada periode penyempurnaan, ilmu sharf dikembangkan secara
progresif oleh Imam Al-Mazini. Implikasinya, semenjak masa ini ilmu sharf
dipelajari secara terpisah dari ilmu nahwu, sampai saat ini. Masa ini diawali
dengan hijrahnya para pakar Bashrah dan Kufah menuju kota baru Baghdad.
Meskipun telah berhijrah, pada awalnya mereka masih membawa fanatisme alirannya
masing-masing. Namun lambat laun, mereka mulai berusaha mengkompromikan antara
Kufah dan Bashrah, sehingga memunculkan aliran baru yang disebut sebagai Aliran
Baghdad. Pada masa ini, prinsip-prinsip ilmu nahwu telah mencapai kesempurnaan.
Aliran Baghdad mencapai keemasannya pada awal abad keempat Hijriyah. Masa ini
berakhir pada kira-kira pertengahan abad keempat Hijriyah. Para ahli nahwu yang
hidup sampai masa ini disebut sebagai ahli nahwu klasik.
Setelah tiga periode
diatas, ilmu nahwu juga berkembang di Andalusia (Spanyol), lalu di Mesir, dan
akhirnya di Syam. Demikian seterusnya sampai ke zaman kita saat ini.
2. Ilmu Balaghah
Adapun pengertian dari segi etimologi adalah
sampai atau berkesudahan atau sampai. Menurut pengertian dari sisi kesusastraan
ialah "Penonjokan makna dan pengertian kalimat yang jelas, sampai tertanam
pada hati pembaca dan pendengarnya (diungkapkan oleh Syaid Ahrnad Aal-Hasymy)[2].
Al-Mukaffa menyatakan bahwa Balaghah adalah beberapa makna yang terpancar dari
suatu kalimat melalui beberapa macam, sebagian dengan isayarat , berbicara,
berpidato, diskusi, surat-menyurat, karangan yang umumnya merupakan "wahyu"
pada kalimat indah, ringkas tepat dan lugas. Jika kita perhatikan dari
keterangan-keterangan fakar ilmu balaghah dari beberapa regenerasi dapat
disimpulkan bahwa :
llmu Balaghah adalah ilmu yang mengungkapkan
metode untuk mengungkapkan bahasa yang indah, mempunyai nilai estetis
(keindahan seni), memberikan makna sesuai dengan muktadhal hat (situasi dan
kondisi), serta memberikan kesan sangat mendalam bagi pendengar dan pembacanya.
Ungkapan yang mempunyai nilai sastra tinggi telah lama dimiliki oleh orang
orang Arab, babkan sebelum tersebarnya agama Islam, tidak mengherankan dari
keindahan bahasa membuat mereka terkesima mendengarkan ayat-ayat suci AI-Quran
dan bahasa Hadist. Alam tarakaifa dharaba L-Lahu masalan kalimatin Thayyibatin
kasyajaratin ashluha a-sabitun wa far'uha fi s-sa,a'I (Apakah engkau tidak
melihat Allah memberikan suatu perumpamaan dengan kalimat yang baik seperti
sebatang pohon yang baik akarnya kokoh dan cabangnya menjulang kelangit)[3].
lnilah suatu ayat yang menyatakan kebaradaan dari
keindahan dari suatu bahasa. Bila dipandang dari peristilahan linguistik ilmu
balaghah ini disebut Ilmu Sematik bahasa Arab. Penamaan sebagai ilmu semantik
ini adalah merupakan suatu peristilahan setelah meneliti dan membandingkan
disiplin ilmu semantik dan ruang lingkup bahasanya dari segi semantik bahasa
Indonesia. Namun jika diperhatikan dari pendapat para fakar yang lebih dominan
menyatakan balaghah sebagai bagian dari pembahasan sastra, mereka juga
mempunyai alasan yaitu yang diulas dalam balaghah adalah kebanyakan hasil karya
sastra atau bahasa yang mengandung nilai-nilai sastra tinggi (bahasa al-Quran
dan Hadist).
٭ Khabari dan Insyai dalam ilmu balaghah
Secara umum, ilmu balaghah terbagi menjadi 3
disiplin ilmu[4], adapun pembagian yang dimaksud adalah sebagai berikut :
a.
Ilmu Ma’ani, yaitu ilmu
yang menjaga jangan sampai mutakallim itu salah dalam memberi makna yang
dikehendaki.
Kesimpulan : Ilmu Ma’ani adalah ilmu untuk menjaga kesalahan berbicara.
b. Ilmu Bayan, yaitu ilmu
untuk menjaga kalam (ucapan) dari ta’kid yang berhubungan dengan makna (Ta’kid
Maknawi),
Kesimpulan : Ilmu Bayan adalah ilmu yang menjaga pembicaraan yang
tidak mengarah kepada tujuan
c.
Ilmu Badi’, yaitu ilmu
untuk mengetahui cara-cara memperbaiki kalam atau ucapan.
Kesimpulan : Ilmu badi’ adalah ilmu untuk menghiasi susunan kalimat.
Perlu diketahui dalam ketiga ilmu ini,
kalam yang disebut dengan Khabari dan
Insyai ada dalam ilmu Ma’ani. Abdurrahman
al-Ahdari[5]
mengatakan tentang klasifikasi kalam Khabari dan Insyai dalam ilmu ma’ani,
beliau merincikan bahwasanya Ilmu ma’ani adalah “Ilmu yang dengan ilmu itu dapat diketahui sesuatu lafadz muthabaqah (sesuai) dengan Muqhtadol-halnya (keadaan
situasi dan kondisinya) dan dan didalam
ilmu itu diterangkan mengenai :
1.
Isnad Khabari
2.
Musnad Ilaih
3.
Musnad
4.
Muta’alliqati Fi’li (lafadz yang dita’alluq dengan Fi’il)
5.
Qoshor
6.
Insya’
7.
Fashal dan washal,
8.
I’jaz,
9.
Itnab; dan
10. Musawa
٭ Kalam Khabari Menurut Bahasa dan
Istilah
Menurut bahasa awal kata dasar Khabari
adalah khabar, yang berarti “Berita”[6].
Ada yang mengatakan bahwa : “Kelompok kalam
khabari, yang lebih dekat pengertiannya adalah kalimat yang mengandung makna
berita. Berita yang diungkapkan oleh si pembicara mempunyai tujuan tertentu
demikian pula bagi si pendengar/pembaca berita. Fakar ilmu
balaghah menentukan keadaan ini dan menamakan pokok bahasan tentang Al-ghardu
mill ilqai I-hkabari”[7]
Adapun menurut Istilahnya, kalam khabari adalah khabar yang bisa masuk dalam hal yang bersifat jujur atau berbohong[8].
Dan tujuan mukkhotib ialah memberi faedah
kepada pendengar akan zat hukum atau memberitahu bahwa pembicarapun mengetahui.
Pendapat lain ada yang mengatakan bahwa Kalam Khabari adalah suatu kabar yang
dapat mendiami seorang (karena sudah mendengar apa yang telah diberitakan)[9] Syekh Muhahammad alwi al-Maliki
mengatakan bahwa kalam khabari dalam al-Qur’an terbagi menjadi beberapa bagian
:
a.
Khabari al’Amr, yaitu pemberitaan yang ada didalam
al-Qur’an yang menunjukkan tentang sesuatu yang bersifat perintah. Contohnya
ada dalam surat al-Baqarah : 228
وَٱلۡمُطَلَّقَٰتُ
يَتَرَبَّصۡنَ بِأَنفُسِهِنَّ ثَلَٰثَةَ قُرُوٓءٖۚ
Wanita-wanita yang
ditalak handaklah menahan diri
Cotoh lain ada dalam
surat al-Baqarah : 233
Para
ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya
b.
Khabari an-Nahy, yaitu pemberitaan yang terdapat dalam
al-Qur’an yang menunjukkan suatu larangan. Contoh ada dalam surat al-Waqi’ah : 79
Tidak menyentuhnya
kecuali orang-orang yang disucikan.
Contoh lainnya ada
dalam surat al-Isra : 32
Dan janganlah kamu mendekati zina
c.
Khabari ad-Du’a, yaitu pemberitaan yang terdapat dalam
al-Qur’an yang menunjukkan suatu permintaan atau do’a. contoh dalam klasifikasi
ini ada dalam surat Al-Fatihaah : 5
Hanya Engkaulah yang
Kami sembah, dan hanya kepada Engkaulah Kami meminta pertolongan
Klasifikasi diatas adalah klasifikasi yang bersifat dalam al-Qur’an dan
pembagian diatas adalah pembagian yang bersifat ke-al-Qur’annya atau teruju
pada al-Qur’an itu sendiri. Untuk itu perlu diketahui, secara umum klasifikasi Khabari yang sebenarnya dalam ilmu
Ma’ani lebih terperinci lagi. Walaupun ada pembagian yang bersifat Nahy, Amr, dan Doa, maka dibawah ini adalah pembagian-pembagian khabar yang
sesungguhnya (dijelaskan secara singkat saja) :
a. Bila kalimat tersebut sudah sama-sama
diketahui oleh si pembicara dan dipendengar (pembaca) maka kalimat khabari itu disebut Lazim
Fa' i dah.
(contohnya
sepertii yang diatas tadi)
b. Bila kalimat itu sebelum diketahui oleh si
pendengar atau pembaca maka disebut Laisa Lazim bi Faedah, firqah
ini ada dua konteks yang ditinjau :
٭ Dilihat dari konteks kalimatnya
hkabari dibagi kepada 5 bagian :
1. Istirhamu : penghormatan
2. Izharut Tahassuri
: keluhan
3. Izharud
Dha-dha'fi : mengungkapkan kelemahan
4. Al-fihkri
: Bangga
5 Al-Hassu
‘ala s-sa'yi wa I-jiddi : Memotivasi untuk
menimbulkan semangat dan kesungguhan
Contoh-contoh dari
pembagian diatas bisa kita contohkan dengan ayat-aya al-Qur’an, akan tetapi
didalam kitab al-Qwa’id al-Asasiyyah fi
Ulumul Qur’an, imam al-Hasani tidak menyebutkan secara terperinci masalah
ini, beliau hanya menyebutkan pembagian-pembagian tertentu saja. Untuk lebih
jelas tentang contoh diatas bisa dilihat dalam kitab Al-Balaghatul Wadhihah, karangan Mustafa Amin, hal 144-147.
٭ Khabari ditinjau
dari kepentingan si lawan bicara terbagi kepada tiga bahagian yaitu :
1. Bila orang kedua sama sekali belum
mengetahui barita, maka khabar tidak perlu mengunakan huruf tawkid
(tanda penguat berita). Disebut khabar
Ibtida'i.
2. Bila orang ke dua ragu akan berita
yang disampaikan padahal dia belum mengetahuinya maka dikemukakan kbahar dengan
penambahan huruf taukid (tanda penguat).
3. Bila orang kedua tetap tidak
percaya (munkir) atas berita yang disampaikan meskipun ada dalil yang telah
ditentukan, maka wajib diberikan huruf taukid, satu taukid atau lebih. Konteks
ini disebut khabar Inkari.
Huruf-huruf taukid (ada waktu -t-taukidi) sebagai berikut ini : Inna, anna, waw
qasam, lam ibtida', nun taukid, ahrufu t-tanbih, hurufu z-zaidah, qad, amma
syarthiyah.
Khalam Insyai menurut bahasa
adalah berasal dari kata “Nasya a- Nasya
u”, yang berarti “dekat dengan Idrak (pemikiran)”[11] lawan daripada
kalam khabari, jika kalam khabari adalah “setiap
lafadz yang tidak dapat dinisbatkan kepada benar dan dusta” maka Insyai
adalah “Setiap lafaz yang tidak dapat
dinisbatkan kepada benar dan dusta”[12]. Contohnya seperti
: “Kun
bil Haq” (harus memegang hak kamu !...). Lawan daripada kalam ini
adalah kalam Khabari, contohnya “Ja a
Zaidun” ( telah datang si zaid )
Dari contoh diatas makna Kalam Insyai maksudnya ( harus memegang hak
kamu…! ) adalah benar-benar terjadi. Tidak berbohong, akan tetapi benar-benar
terjadi dan hak itu harus dipegang secara benar tidak boleh dimain-mainkan.
Namu jika kalam Khabari tentang contoh ( telah datang si zaid ) hal itu bisa
saja terjadi, karena si zaid bisa saja datang namun bisa juga tidak datang.
Kalam Insyai memiliki lima klasifikasi dan cabang-cabangnya. Adapun
pembagiannya adalah sebagai berikut :
1.
Insyaa ul Amru, yaitu menuntut
pekerjaan dan tidak boleh meninggalkannya. Sighat pada kalam ini biasanya memakai lafadz (( If’al
)) dan (( Liyaf’al )), dan pada hakekatnya lafadz ini adalah bermakna wajib.
Contoh dalam masalah ini ada dalam surat Al-Baqarah
: 43
(#qßJÏ%r&ur no4qn=¢Á9$# (#qè?#uäur no4qx.¨9$# (#qãèx.ö$#ur yìtB tûüÏèÏ.º§9$# ÇÍÌÈ
Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat
dan ruku'lah beserta orang-orang yang ruku'
Tentang
kaedah ini Imam al-Hasani mengatakan bahwa al-Amr bisa bermakna
a. Nadab contohnya : (Al-a’raf : 204 )
b. al-Ibahah contohnya : (Al-Maidah : 2)
c. Do’a contohnya : (Shad : 35),
d. Tahdid contonhya : ( As-Sajadah : 40 )
e. Ta’jiz contohnya : (Al-Baqarah : 23)
f. Takzib.
2.
Insyaa un Nahy, yaitu menuntut kepada yang bersifat larangan. Dan
sighatnya adalah (( La Taf’al )). Dan pada hakekatnya perintah larangan ini
adalah haram. Pembagian kalam nahi ini terbagi menjadi 3 bagian,
a. Irsyadi contohnya : (Al-Maidah : 101)
b. Taswiyyah contohnya
: (Al-Imran : 200)
c. Do’a contohnya :
(Al-Imran : 8)
3. Insyaa ut Tamanni, yaitu yang mengharapkan sesuatu yang
dianggap baik walaupun mustahil terjadi. Tammani terbagi menjadi 2 bagian :
a. Yang tidak dapat dimungkinkan atau Mustahil contohnya : (An-Naba’ : 40)
b. Yang dapat memungkinkan contohnya :
(Hud : 111)
4. Insyaaul Istifham, yaitu berita yang dituntut untuk memahami.
Atau minta berhasilnya barang yang diluar pengetahuan penanya. Sighatnya adalah
berupa pertanyaan-pertanyaan seperi “hal…., wa ma…, hamzah…”
Untuk pembagian ini terdapat lima
pembagian. Adapun pembagiannya adalah sebagai berikut :
a. Al-Inkar
b. Taubih
c. Taqrir
d. Targhib
e. Doa
DAFTAR PUSTAKA
- Mustafa al-ghulainy, Jami’ ad-Durus al-‘Arabiyyah, juzu’ awal, beirut
- Al-Hasani al-Muqaddisi, Fathurrahman, (Darul Fikri, beirut Libanon : 1995)
- Muhammad al-Jurjani, Kitabut Ta’rifat, (al-Haramain, Jeddah : 1421 H)
- Mahmud Tohhan, Mustalahu al-hadist, (Al-Haramin, jeddah : 1985)
- Muhammad bin Ali al-Maliki, al-Qawa’id al-asasiyyah, (penerb : al-Haramain. Singapura-Jeddah-Indonesia)
- Abdurrahman al-Ahdari, Jawahirul maknum (terjemahan), cet I, (Surabaya : Mutiara Ilmu, 1995)
- Machrec Sarl, al-Munjid fillughati wal a’lam, (darul Masyriq, Beirut Lebanon : 2006)
- Departemen Agama, Al-Qur’an dan terjemahan.
- Internet sercihing, Kalam Khabari dan Insyai, Google.Skip to Main
- Hasil diskusi dengan Abuya, Prof. Dr. Tgk Chik. Muhibbuddin Waly
Penulis : Tgk. Habibie M. Waly
[1] Hasil diskusi dengan Abuya Muhibbuddin Waly, dirumah, lampeunerut Aceh
besar. Malam, pukul 20-13 s/d 23-41
[4] Abdurrahman al-Ahdari, Jawahirul
maknum (terjemahan), cet I, (Surabaya : Mutiara Ilmu, 1995). Hal 18
[8] Muhammad bin Ali al-Maliki, al-Qawa’id
al-asasiyyah, (penerb : al-Haramain. Singapura-Jeddah) hal. 83
0 komentar:
Posting Komentar